DEPOK--SDN Depok 1 mengadakan kegiatan dalam rangka peringatan Hari Kartini yang di laksanakan pada hari Kamis tanggal 27 April 2017. Selain peringatan Hari Kartini kegiatan tersebut juga dilaksakan untuk memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman yang ke 101 yaang jatuh pada tanggal 15 Mei 2017. Kegiatan tersebut bertempat di Candi Sari yang terletak di dusun Bendan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman.Menurut Bapak Hidayat selaku ketua panitia menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutin tahunan yang diselenggarakan sekolah. Adapun pemilihan lokasi candi sebagai tempat kegiatan dengan alasan agar siswa lebih mengenal peninggalan sejarah yang ada di kabupaten Sleman khususnya yang berbentuk candi.
Kegiatan peringatan tersebut meliputi pawai baju adat, upacara bendera, lomba fashion show pakaian adat jawa khususnya gagrag Ngayogyakarta, dan pengenalan cagar budaya candi Sari yangmana jarang terekpos seperti candi-candi lainnya. Untuk menuju lokasi candi menggunakan alat angkut berupa kereta mini. Tak kurang 10 kereta digunakan untuk mengangkut 371 siswa beserta guru menuju lokasi candi Sari. Partisipasi orang tua siswa dapat dilihat dari antusiasme mereka dalam mendandani putra/putrinya sejak subuh agar dapat menghadirkan penampilan yang maksimal. Tak hanya itu, beberapa orangtua/wali siswa juga mendatangi lokasi untuk sekedar melihat kegiatan peringatan Hari Kartini tersebut.
"HABIS GELAP TERBITLAH TERANG" seakan sebagai pengobar semangat bagi kaum wanita kala itu untuk bangkit agar memiliki kesetaraan dengan kaum pria. Tak lagi dipandang sebagai "Kanca Wingking" yang seolah-olah kaum wanita menjadi bagian yang tidak penting namun kini telah berubah. Wanita punya wibawa, wanita bebas mengenyam pendidikan tinggi namun tidak melampaui kodratnya.
Belajar tak selamanya berada di
dalam ruang tertutup. Belajar bisa dilakukan dimana saja asalkan ada sumber
belajarnya. Demikian pula yang SD Negeri Depok 1 lakukan bekerja sama dengan Dinas
Kebudayaan DIY melalui program WKM (Wajib Kunjung Museum). Program WKM yang
diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan DIY merupakan program unggulan yang ditujukan
bagi sekolah-sekolah yang berada di wilayah DIY dimana bertujuan agar generasi
muda khususnya para pelajar lebih mencintai museum dimana di dalamnya banyak
sekali sumber-sumber ilmu yang dapat diperoleh.
Program pembelajaran ini diikuti
oleh 58 siswa kelas 5A dan 5B dan dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 15 April
2017. Adapun lokasi tujuan dari kegiatan pembelajaran di luar kelas ini yakni
Tembi Rumah Budaya dan Parangtritis Geomaritime Science Park. Semua akomodasi
mulai dari kendaraan, tiket, sampai dengan konsumsi ditanggung olah Dinas
Kebudayaan DIY. Sehingga sekolah tidak perlu mengeluarkan biaya.
Tembi Rumah Budaya merupakan
museum kebudayaan Jawa khususnya budaya DIY. Di museum ini terdapat perangkat
gamelan komplit, alat-alat masak tradisional jawa, alat transportasi, buku-buku
Jawa, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kebudayaan jawa. Sedangkan Parangtritis
Geomaritime Science Park merupakan museum sekaligus pusat penelitian tentang
geomaritim khususnya wilayah pesisir selatan DIY. Di dalam Parangtritis
Geomaritime Science Park terdapat alat-alat yang digunakan untuk pemetaan pada
jaman dahulu, selain itu juga terdapat sampel-sampel batuan dan pasir yang ada
di wilayah pesisir selatan DIY. Sebelum melihat koleksi museum, para pengunjung
biasanya disuguhi tayangan tentang kegeomaritiman wilayah pesisir selatan DIY
mulai dari sejarahnya sampaikondisi
terkini.
Terimakasih kepada Dinas Kebudayaan DIY yang telah
memfasilitasi kegiatan pembelajaran di luar kelas bagi siswa SDN Depok 1.
Semoga akan terus berlanjut pada waktu-waktu mendatang.
Budaya membaca atau literasi baru mulai
digalakkan pemerintah Indonesia pada satu/dua tahun terakhir. Hal ini
disebabkan karena minimnya minat baca bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Padahal seperti diketahui bersama bahwa dengan membaca maka
akan menambah ilmu bagi si pembacanya. Pembiasaan membaca yang
dicanangkan oleh pemerintah merupakan adopsi dari budaya yang ada di
Jepang dimana salah satu kekuatan Jepang dalam kemajuan negaranya
terletak pada kebiasaan masyarakatnya yang gemar membaca.
Bisa dibilang, Jepang merupakan macan Asia, di mana segala kemajuan,
mulai dari kemajuan perekonomian hingga teknologi, berjalan sangat
pesat. Pada dasarnya, kemajuan yang dicapai Jepang pada saat ini
merupakan buah dari kerja keras pemerintah Jepang untuk membangun budaya
literasi yang dimulai sejak dari bangku sekolah dasar.
Menurut Yoshiko Shimbun, sebuah harian nasional Jepang terbitan
Tokyo, kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah. Para guru
mewajibkan siswa-siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum
melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini telah
berlangsung selama 30 tahun. Para ahli pendidikan Jepang mengakui bahwa
pola kebiasaan yang diterapkan ini terlalu bersifat behavioristik, di
mana terdapat reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam
pelaksanaan aturan tersebut. Namun, pembiasaan yang dilakukan dari
tingkat sekolah dasar dinilai cukup efektif, karena dilakukan pada
anak-anak sejak usia dini.
Awalnya, seperti yang disebutkan harian tersebut, pelaksanaan regulasi
tersebut memang sulit dilakukan, mengingat para murid memiliki latar
belakang keluarga dan lingkungan yang berbeda. Namun, karena pola
pendidikan di Jepang didesain sedemikian sehingga berkesinambungan
dengan pola pendidikan di rumah, sehingga dalam pelaksanaannya, orangtua
juga proaktif mengembangkan kebiasaan baca di sekolah.
Jam masuk sekolah di Jepang dimulai pada pukul 07.00 waktu setempat.
Tetapi gerbang sekolah mulai ditutup 15 menit sebelum pelajaran formal
dimulai. Pada jam inilah biasanya peraturan tersebut dilaksanakan.
Dengan demikian, pada lima belas menit pertama anak-anak sekolah dasar
diwajibakan membaca buku apapun yang dipilihnya dari perpustakaan
sekolah. Tidak hanya itu, pola pendidikan di Jepang juga dibuat untuk
mendorong siswa agar aktif membaca, seperti mempresentasikan karya
sastra klasik, membuat kelompok story telling berdasarkan buku yang
telah dibacanya untuk kegiatan amal yang berlangsung pada akhir tahun
pelajaran.
Saat ini peraturan ini memang tak seketat ketika pertama kali
diterapkan. Banyak sekolah yang tidak menyebutkan peraturan tersebut
secara tertulis. Namun demikian, budaya baca yang telah tertanam pada
pelajar di Jepang rupanya membuat siswa-siswa ini secara sadar dan
mandiri membuka ruang-ruang diskusi ilmiah informal di luar jam
pelajaran mereka, dengan salah satu agendanya adalah membahas banyak
buku-buku yang tengah terbit ataupun fenomenal. [Lina Marlina,
Jepang/Sumber: Yoshiko Shimbun, Jumat 29 Mei 2009]
Di
Indonesia sendiri pembiasaan membaca juga dilakukan di lingkungan
sekolah dimana 15 menit sebelum pelajaran dimulai siswa diwajibkan untuk
membaca buku. Buku yang dibacapun beragam, mulai dari pengetahuan umum,
ensiklopedia, kamus, buku cerita, dan lain-lain. Namun sayangnya
kendala ada pada koleksi buku yang dimiliki sekolah sehingga buku yang
dibaca hanya itu-itu terus dan membuat anak menjadi bosan. Semoga
pembiasaan membaca tersebut diiringi dengan sarana yang memadai sehingga
bukan tidak mungkin negara kita akan menjadi negara maju seperti
Jepang.